loading...
loading...
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian
dalam keadaan mabuk, sampai kalain mengetahui apa yang kalian katakan; dan
jangan pula dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat, sampai kalian mandi;
dan jika kalian dalam keadaan sakit, atau safar, atau salah seorang dari kalian
datang dari tempat menunaikan hajat, atau kalian “menyentuh” perempuan,
kemudian kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah kalian dengan debu
yang suci. Maka usaplah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian,
sesungguhnya Allah itu adalah Maha memaafkan lagi Maha mengampuni.” (QS.
An-Nisa:43)
Makna
ayat di atas dapat disimpulkan secara ringkas sebabagi berikut :
1.Larangan
mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk.
2.Larangan
shalat dalam keadaan junub,
3.Orang
sakit boleh bertayammum
4.Musafir
boleh bertayammum
5.Orang
yang selesai buang air lalu ingin mendirikan shalat, maka ia harus tayammum
jika tidak menemukan air.
6.Orang
(Laki-laki) “yang menyentuh perempuan” lalu ingin mengerjakan shalat, maka ia
harus bertayammum jika tidak menemukan air.
7.Bertayammum
harus dengan debu yang suci
8.Tayammum
hanya membasuh muka dan tangan.
Poin-poin
di atas tentu harus diperjelas lagi, yaitu:
Orang
sakit boleh bertayammum apabila sakitnya itu sangat menyulitkan untuk berwudhu,
atau penyakitnya bertambah jika menyentuh air.
Musafir
boleh tayammum karena rukhashah, tapi jika ia berwudhu tentu lebih utama
(afdhal)
Keluar
sesuatu dari dua jalan (BAB atau BAK) adalah sesuatu yang membatalkan wudhu.
Dengan demikian, harus berwudhu jika ingin melakukan suatu ibadah yang hanya
sah dengan wudhu seperti shalat dan thawaf atau menyentuh mushaf. Ketika tidak
ditemukan air, maka boleh bertayammum.
“Menyentuh
perempuan” juga termasuk perkara yang membatalkan wudhu.
Arti
atau maksud dari “menyentuh
perempuan” (لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ),
para ulama berbeda pendapat. Dengan berbedanya pendapat dalam mengartikan kata
tersebut, maka tentu juga berbeda pendapat dalam menghukumi batal wudhu karena
bersentuhan dengan perempuan.
Berikut
perbedaan pendapat mereka :
A.
Madzhab Hanafi
Madzhab
ini mengartikan “Menyentuh perempuan” dengan “Bersentuhan dua kelamin” atau
berhubungan suami istri.
Madzhab
ini berdalil dengan tafsir Ibnu Abbas RA bahwa arti “menyentuh perempuan”
adalah Jima. Dengan demikian madzhab ini berpendapat bahwa bersentuhan kulit
antara laki-laki dan perempuan, baik suami mapun istri atau ajnabi (bukan
mahram) tidak membatalkan wudhu.
B.
Madzhab Maliki dan Hambali.
Kedua
madzhab ini berpendapat bahwa makna “menyentuh perempuan” dalam suarat Aniisa
ayat 43 di atas adalah dengan makna sebenarnya, yaitu menyentuh kulit antara
laki-laki dan perempuan, bukan mengartikannya dengan jima’ sebagaimana yang
diartikan ulama madzhab Hanafi.
Menurut
kedua madzhab ini, artti menyentuh perempuan adalah menyentuh perempuan dengan
syahwat. Maksudnya adalah seorang laki-laki yang menyentuh kulit perempuan
dengan syahwat (nafsu), maka batal wudhu’nya. Para ulama madzhab ini berdalil
dengan beberapa hadits sebagai berikut :
“Dari
Ibrahim At-Taymi dari Aisyah RA bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium
sebagaian dari istri-istri beliau kemudian beliau shalat tanpa berwudhu” (HR.
Abu Daud dan An-Nasa’i).
Hadits
lainnya, masih riwayat Aisyah RA :
Dari
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku
mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam
ketika beliau sedang di tempat sujud”.(HR. Muslim dan Tirmidzi)
Dari
kedua hadis di atas, tentu dapat difahami bahwa bersentuhan kulit antara
Rasulullah SAW dengan Aisyah RA tentu tidak dalam keadaan syahwat. Dengan
demikian, menurut madzhab ini , makna “menyentuh perempuan” dalam surat An-Nisa
ayat 43 diartikan dengan “menyentuh kulit perempuan dengan syahwat”. Dengan
begitu, bersentuhan kulit antara istri atau suami apabila disertai dengan
syahwat adalah membatalkan wudhu. Tapi apabila bersentuhan kulit tidak disertai
dengan syahwat maka tidak membatalkan wudhu.
Namun,
Madhab Malik dan Hambali agak sedikit berbeda menghukumi persentuhan kulit
laki-laki dan perempuan sebagai berikut :
–
Madhab Maliki tidak membatasi apakah yang disentuh itu perempuan, laki-laki,
anak kecil yang belum baligh, menyentuhnya dengan penghalang atau tidak.
Patokannya adalah menyentuhnya dengan diiringi syahwat.
–
Madzhab Hambali mensyaratkan bahwa yang disentuhnya itu adalah khusus perempuan
(laki-laki tidak ternasuk ) dan tidak menggunakan penghalang. Apabila seorang
laki bersentuhan kulit dengan perempuan
dan disertai syahwat dan tanpa penghalang, maka batal wudhu’nya walau
pun kulit perempuan yang disentuhnya itu adalah jenazah.
Madzhab
Syafi’i :
Madzhab
ini berpendapat bahwa menyentuh kulit perempuan tanpa penghalang adalah batal
wudhu, baik diringi syahwat atau tidak. Madzhab ini membatasi batalnya
persentuhan dengan :
Batal
apabila menyentuh yang bukan mahram. Yang dimaksud mahram di sini adalah mahram
yang disebabkan karena keturunan (anak dengan orang tua, kakak dengan adik
dll), atau karena persusuan, atau karena hubungan pernikahan (menantu dengan
mertua). Adapun pesentuhan suami dan istri adalah batal.
Menyentuh
lawan jenis yang bukan mahram tidak membatalkan apabila ia adalah anak kecil
yang belum baligh dan secara adat tidak menimbulkan syahwat.
Dalil
madzhab ini adalah :
Maksud
“menyentuh perempuan” dalam surat An Nisa ayat 43 adalah menyentuh kulit, bukan
jima’. Madzhab ini mengartikan kata tersebut secara tekstual, bukan kontekstual
atau majaz.
Adapun
hadis Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian shalat
tanpa wudhu lagi adalah hadis lemah dan mursal sehingga tidak bisa dijadikan
dalil.
Ada
pun hadis Aisyah RA bahwa kedua telapak kaki Rasulullah SAW perah tersentuh
tangan Aisyah RA ketiau beliau SAW sujud, diduga bahwa persentuhan tersebut
disertai penghalang sehingga tidak langsung terkena kulit antara keduanya.
Penghalang itu bisa saja kain atau selimut Aisyah RA.
Kesimpulan
:
Bahwa
masalah ini adalah perkara khilafiyah yang sudah sangat klasik. Oleh karena
itu, janganlah dibesar-besarkan sehingga menjadi penyebab pecahnya ummat Islam.
Wallahu
a’lam.
Ridwan
Shaleh. (Pusatkajianhadis.com)
Sumber
: Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Alm. Syeikh Wahbah Zuhaili dan kitab-kitab
lainnya.
BACA JUGA :
- Banyak Minum Air Putih Bisa Turunkan Berat Badan?
- Mau Menurunkan Berat Badan? Cobalah Segelas Ramuan Ini
- HEBOH !! mobil imut 4 penumpang ini di banderol hanya seharga 23 juta an, kabarnya sudah beredar di INDONESIA
- Banyak Minum Air Putih Bisa Turunkan Berat Badan?
- Mau Menurunkan Berat Badan? Cobalah Segelas Ramuan Ini
- HEBOH !! mobil imut 4 penumpang ini di banderol hanya seharga 23 juta an, kabarnya sudah beredar di INDONESIA
loading...